Langsung ke konten utama

Biografi KH. Badawi Umar, S.Q.





























Biografi KH. Badawi Umar, S.Q
 
Nama Kecil        : Badawi, adik-adiknya memanggil Mas Wawi / Masa Muda: Gus Beh

TTL                    : Solo, 2 Agustus 1952. Anak ke 3 dari 11 bersaudara
Asal                   : Solo
Nama Istri          : Hj. Lathifah Mahfudz, BA. Binti KH Mahfudz Kholil (Pendiri PP Al Ishlahiyah)
Nasab Keluarga  : Ayah   : KH. Ibnu Umar bin Syahrowardi

                            : Ibu       : Nyai Hj. Muslimah
 Pendidikan         : Aulmus PTIQ Jakarta (Alumnus Terbaik PTIQ)
                            : Alumnus Pesanten Al Muayyad Mangkuyudan Solo
                            : Alumnus PP Al Muttaqin Pancasila Sakti, KH Moeslim Imam Puro (Mbah Lim)

Silsilah Keluarga : Badawi Umar bin Ibnu Umar bin Syahrowardi bin KH. Abdul Jalil
Organisasi            : JQH – Jamiyatul Qurro’ Wal Huffadz Kabupaten Malang

                             : Katib di MWC NU Singosari, saat itu KH Abdul Mannan Syukur Ketua MWC

Tahun Menikah    : 1984

KH. Ibnu Umar

Nyai Hj. Muslimah & Nyai Hj. Muti’ah

1.       BANI H. BADRUS ZAMAN SANTOSA
2.       BANI HJ. SITI MUSLICHAH
3.       BANI H. BADAWI IBNU UMAR
4.       BANI H. HADI MULYONO
5.       BANI MUNAWIR SANTOSA
6.       BANI SITI MARWIYAH
7.       BANI ROSYAD
8.       BANI ADIB MIFTAH WIDODO
9.       BANI MUHAMMAD BASUKI ADI
10.   BANI INDRIYATI
11.   BANI ROHMAT AGUS SARJONO



Gus Beh
Oase keteladanan & Mendidik dengan contoh

1.       Hidup Sederhana
2.       Tidak menampakkan kemewahan
3.       Suka bersedekah
4.       Tidak suka dihormati
5.       Lebih suka tidak terkenal
6.       Tepat waktu
7.       Berprilaku baik
8.       Berpenampilan sederhana
9.       Pengorbanan untuk santri
10.   Hidup zuhud
11.   Suka bersilaturrahmi
12.   Istiqomah
13.   Sabar: Kesabaran ini adalah yang selalu memberikan contoh pada kami
14.   Kepedulian
15.   Tidak suka merepotkan orang lain
16.   Tidak malu mengerjakan hal sederhana
17.   Mendidik dengan hati
18.   Menghadiri undangan siapapun
19.   Tidak malu hidup sederhana
20.   Menjadi tokoh dibelakang layar






























Rasa Terimakasih untuk Sang Kiai
Oleh: Khoirul Ahsanan (Cak Nan)

Masih terbayang-bayang sosok yang teduh dan telaten dalam mendidik santri, beliau adalah K.H. Badawi Umar, S.Q. yang mengabdikan dirinya untuk agama Allah, untuk dakwah, untuk santri, dan untuk siapa saja yang membutuhkan. Saya adalah salah satu orang yang sangat beruntung dipertemukan Allah dengan Beliau. Dahulu saya datang ke Langgar Genteng adalah untuk mencuri barang-barang milik santri, kehidupan masa lalu saya tergolong suram, tumbuh dari lingkungan yang kacau dan hidup sebagai preman.

Kemudian saya bisa tobat dan berhenti total adalah berkat dari pendekatan beliau, dengan kesabaran dan do’a beliau akhirnya saya diterima ngaji di Langgar Genteng, belajar sholat, belajar Qur’an, dan belajar menjadi orang baik. Beliaulah yang selalu berkata pada saya untuk segera mengakhiri dunia hitam. Ketika itu saya masih belum bisa menerima seluruh nasehat beliau, terkadang saya masih kumat lagi. Beberapa tahun kemudian saya baru bisa berhenti total dari dunia hitam dan menjalankan syariat islam dengan baik. Alhamdulillah, memang ini adalah hidayah dari Allah yang diturunkan melalui Gus Beh (panggilan akrab KH. Badawi Umar) yang hingga detik ini saya merasa sangat kehilangan sosok sederhana dan zuhud.

Dulu beliau pernah menugaskan saya untuk mengumpulkan sampah, ternak kambing, ternak bebek, dan lain sebagainya. Tapi tidak ada hasil sama sekali dari modal itu. Satu hal yang masih saya ingat, bahwa tujuan beliau adalah bukan mencari keuntungan, tapi bagaimana saya bisa disibukkan dengan kegiatan semacam ini supaya dapat melupakan hal-hal yang negatif dan melatih saya agar bisa mencari pekerjaan dari pada menjadi pengangguran. Beliau selalu sabar dengan berbagai tingkah polahku.

Beberapa tahun kemudian, saya diperintahkan beliau agar mendidik anak-anak kampung disekitar tumapel, terutama yang tidak terurus ngajinya. Bismillah saya manut dengan nasehat beliau, dan alhamdulillah hingga sekarang TPQ Al Ishlah masih berjalan dan terakhir kali beliau ke sana pada Rutinan Ahad Legi di Musholla Al Ibrahim yang baru saja selesai di bangun. Nasehat beliau tidak banyak dan sederhana, tapi entahlah mengapa selalu mengena dan dapat terlaksana dengan baik.

Sampai hari ini saya belum menemukan langsung sosok Kiai yang zuhud, sabar, istiqomah, loman, telaten, dan rendah hati seperti beliau. Hutang saya pada beliau tak bisa dihitung dengan apapun dan tidak akan bisa terbalaskan berapapun. Saya masih merindukan nasehat-nasehat dan lantunan ayat yang dibacakan oleh beliau setiap hari. Masih perlu bimbingan spiritual untuk lebih dekat dengan Allah. Serasa kehilangan lampu penerang ditengah kegelapan dan tubuh ini terasa lemah ketika mendengar beliau telah benar-benar pergi untuk selamanya.

Setiap hadir di Makam beliau di kompleks pemakaman Bungkuk Singosari, saya selalu menangis dan mengingat terus nasehat-nasehat, contoh, dan keteladanan dari beliau untuk menjadi manusia yang baik. Beliau sering berpesan: “Jangan takut hina dihadapan manusia, takutlah hina dihadapan Allah”. Pesan ini kalau direnungkan dalam-dalam sangat bermakna, dan beliau telah benar-benar melakukannya. Beliau sering berpenampilan sederhana, tidak peduli dengan pujian dan cacian manusia, Beliau selalu tenang menghadapi cobaan-cobaan dan tersenyum ketika berjumpa siapapun. Beliau selalu istiqomah jamaah lima waktu baik ramai maupun sepi, hujan deras maupun panas, dan jika tidak ada orang sama sekali beliau yang adzan hingga ngimami. Cobaan hidup beliau pun tidak mudah, ternyata Allah mencintai hambanya itu dengan cobaan, dan Gus Beh selalu bersabar dengan cobaan-cobaan yang ada.

Saya satu dari ribuan santri beliau yang diberikan kesempatan dekat dengan beliau. Saya salah satu orang yang beruntung bisa langsung mendapatkan arahan, bimbingan, dan pendidikan dari beliau. Saking tawadhunya beliau, memanggil murid seperti saya dengan sebutan “Mbah Nan”, beliau tidak mau langsung menyebut nama “khusnan”, hal sederhana ini sangat melekat dalam hati, bahkan beliau memanggil saja dengan kata-kata baik.

Pesan terakhir belaiu kepada saya: “Ditunggu nikah kok gak nikah-nikah Mbah Nan” sebetulnya Kiai ingin melihatku bahagia ketika aku menikah, namun Kiai meninggal lebih dahulu sebelum bisa melihat saya menikah. Kiai selalu menjodoh-jodohkan santrinya, hal ini memiliki maksud agar santri-santri beliau segera menikah, tanpa pacaran, dan serius untuk menikah jika sudah dirasa tepat dan sudah diistikhorohi oleh beliau. Khusus untuk Beliau, Alfatihah...





Tangis Pilu di Hari Wafat Kiai Badawi Umar Singosari
oleh: M. Irsyad (12/10/2019)

Pagi itu menjelang pukul 04.00 dini hari, Rabu 11 Muharram 1441 H, bertepatan dengan 11 September 2019 M, aku dibangunkan seorang santri senior sekaligus guru yang mengajariku Al Qur’an di pondok. Saat itu aku tengah nyenyak tidur di salah satu kamar lantai bawah Pondok. Guru itu bernama Cak Imam Hambali (santri kesayangan Kiai Badawi Umar). Sambil mengguncang-guncangkan punggungku, Cak Imam memberi tahukan Kiai Badawi wafat. pada jam-jam itu adalah saat dimana beliau membangunkan santri untuk sholat tahajud.

“Kiai Badawi sedo! Kiai Badawi sedo!”

Aku terkejut dan segera bangun mendengar suara itu. Kulihat Cak Imam bersimpuh menangis senggugukan. Akupun sedih dan bingung mendengar berita itu sebab sebelumnya tak ada kabar serius mengenai Kiai Badawi. Namun aku tak mampu meneteskan air mata sebagaimana Cak Imam. Air mataku beku mendengar Kiai Badawi wafat. Kepergian Kiai Badawi untuk selamanya begitu mengguncangkan jiwaku. Aku teringat “hutangku” pada Kiai Badawi. Aku teringat sebuah pesan beliau agar tetap mondok dan menjadi santri yang baik, karena sebelumnya berkali-kali aku ditegur oleh Kiai. Beberapa menit kemudian Cak Imam mengumumkan di speaker Langgar Genteng, terdengar sebuah isakan tangis ketika Cak Imam berkata “Innalillahi wa inna ilaihi roojiun”, seketika itu pecah dan seluruh santri terbangun bingung, ada apakah ini? Warga berdatangan juga menanyakan keberadaan sekarang dan kapan akan dimakamkan.

Menjelang subuh semua santri menangis serentak. Mereka amat bersedih hati telah kehilangan Kiai Badawi yang mereka cintai dan hormati. Suara tangis itu terdengar dari luar pondok hingga radius puluhan meter.

Beberapa warga pun berdatangan, karena kedekatan Kiai dengan warga sungguh dekat. Lebih-lebih warga yang ikut berjamaah di Langgar Genteng. Kiai selalu hadir setiap ada undangan warga, Kiai suka membantu warga, Kiai juga memberikan pekerjaan atau peluang usaha untuk warga, hingga pengobatan gratis untuk warga yang sakit.

Ketika hari mulai terang, banyak orang datang ke pondok untuk mengkonfirmasi wafatnya Kiai sekaligus meminta informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemakaman beliau. Misalnya, dimana beliau akan dimakamkan dan jam berapa upacara pemakamannya. Aku sendiri tidak ikut terlibat dalam pembicaraan penting itu. Aku masih kecil dan tidak banyak tahu apa-apa.

Namun begitu, setelah ada keputuskan Kiai akan dimakamkan pada hari itu juga ba’da Dzuhur di sebelah barat masjid Bungkuk, sesuai dengan isyarat beliau seminggu sebelumnya ingin dimakamkan di Bungkuk. Padahal seminggu sebelumnya Kiai masih menghadiri 100 hari Kiai Tholhah Hasan, para tamu yang hadir masih tidak percaya bahwa Kiai benar-benar sedo. Mereka bercerita panjang lebar tentang sosok Kiai Badawi Umar yang mereka idolakan, beberapa cacak alumni yang datang juga masih menangis atas kepergian Kiai untuk selamanya.

Semakin siang semakin banyak yang berdatangan ke Ndalem, untuk sholat jenazah. Bergantian datangnya tamu dan antrian panjang untuk Sholat jenazah. di Pesantren putri juga tampak padat ibu-ibu dan mbak-mbak yang berdesakan untuk sholat jenazah. Cak Imam memerintahkan untuk santri agar memberikan tempat bagi tamu yang datang dari jauh. Dan para Kiai besar yang selama ini saya lihat hanya dari foto-foto pun juga berdatangan. Alhamdulillah kami bisa melihat langsung dan bersalaman kepada beliau-beliau.

Saya masih ingat sekitar 2 minggu yang lalu saya mengantarkan Kiai, saya sebagai sopir beliau, dan beliau selalu turun untuk parkirkan mobil, terkadang saya malu dan bahkan pernah ditegor ustadz yang lain yang belum tahu bahwa Kiai selalu turun mobil dan memberikan aba-aba ketika keluar dari gerbang pondok. Saat itu Kiai tampak sehat dan kemudian mempersiapkan beberapa lembaran uang kecil untuk diberikan ketika ada polisi cepek.


 
Bantuan Pemerintah
Oleh: Ahsani F Rahman (Putra ke 2, KH. Badawi Umar, S.Q.)

Suatu hari ada bantuan dana dari pemerintah untuk pembangunan pondok, jumlahnya cukup fantastis dan diluar dugaan Abi menolak bukan dengan dalil fiqih seperti pada umumnya saya dengar. Akan tetapi dengan sebuah perumpamaan. “Jika kamu punya motor, motor yang satu diberikan cuma-cuma padamu dan satunya adalah motor dengan keringatmu sendiri. Kira-kira akan kau rawat benar-benar yang gratisan atau yang susah payah kamu kredit setiap bulan?” otomatis saya jawab “keringat sendiri”.

Namun saya sempat membantah dengan dalih kamar santri yang tidak layak, kamar mandi yang perlu perbaikan, saluran air yang rusak, perbaikan daya listrik, perbaikan almari, dan lain sebagainya. Abi melanjutkan pembicaraannya “Jika memang ada dana dari pemerintah itu buat sekolah tidak apa-apa (sambil menunjuk SMK Terpadu Al Ishlahiyah) karena sekolah memang betul-betul perlu dan ada akreditasi dari pemerintah nantinya. Kamu harus merasakan sebuah proses untuk hasil yang kamu terima.” Ungkap Abi saat itu. “Dan jangan malu dengan katanya orang, jangan berubah dengan perkataan orang, kita sendiri yang menjalani”.

Analogi ini adalah sebuah penolakan dengan cara lain, yang kadang bisa salah faham jika tidak dicermati dengan baik. Beberapa seperti hal-hal yang bersifat kebijakan ataupun pendapat seringkali jika ada perdebatan maka selesai dengan sebuah perumpamaan sederhana. (Catatan tahun 2008).
Catatan ilustrasi: 2 ayat ini adalah Ayat yang sering dibaca oleh Abi dalam beberapa kali ketika menjadi imam sholat. Lebih-lebih 5 bulan sebelum Abi meninggal dunia.

 
Oleh: Ahsani F Rahman (Putra ke 2, KH. Badawi Umar, S.Q.)

2 Agustus 1952 adalah tanggal kelahiran Ayah. Dan Beliau adalah satu-satunya lelaki terbaik yang mendidik saya bersama kakak dan adik hingga detik ini. Hari ini sudah 64 tahun usia Ayah, dan semoga sehat selalu, Amin. Tidak ada kado apapun yang bisa saya berikan selain do'a, pengabdian, dan rasa syukur pada Allah. Sudah tak terhitung lagi jasa Ayah pada kehidupan saya, tak terhitung lagi cinta yang harus diungkapkan, dan tak kan pernah usai untuk dibahas tentang kasih sayang Ayah pada kami.
Dalam kehidupan tentunya pasti ada masalah, cobaan, ujian, dan warna kehidupan di dalamnya. Berbagai masalah yang terjadi terkadang Ayah menyimpan sendiri dan menghadapinya sendiri, tidak mau anak-anaknya ikut serta mengetahui masalah-masalah yang terjadi dalam keluarga dan kehidupan anak-anaknya. Tentunya ini adalah bentuk kasih sayang seorang Ayah sebagai pemimpin yang tegar dan bijaksana.
Sampai suatu saat saya mengerti bahwa sebagai lelaki yang baik bukan mudah menyerah apalagi putus asa apalagi lari dari kenyataan, apapun yang terjadi harus diselesaikan sesuai dengan aturan dan dikerjakan dengan hati. Namun, kenyataannya untuk melakukan itu butuh proses panjang dan membutuhkan hati yang kuat. Tidak henti-hentinya Ayah terus mengingatkan kami untuk terus berjuang dan tidak mudah menyerah.
Dahulu Ayah pernah berangkat haji dengan Ibu. Saya masih ingat setiap hari setelah mengajar di sekolah Ayah memeras keringat untuk menutupi biaya haji dan Ibu juga berjualan berbagai macam untuk memenuhi kebutuhan hidup dan merawat anak-anaknya dengan barang yang halal. Saat-saat dalam masa perjuangan masih tersimpan dalam memori masa kecilku dulu, kenangan yang tersimpan rapi dalam ingatan itu adalah tanda kasih sayang yang tak terbatas.
Saya masih ingat ketika Ibu berjualan es dan saya hanya bisa membantu jika diperintahkan Ibu, karena saya masih belum paham tentang tanggungjawab sebagai seorang anak. Ayah dan Ibu adalah sosok yang utuh untuk saling melengkapi mendidik anak-anaknya.
Selamat ulang tahun Ayah, Engkau menjadi inspirasi untuk disiplin, untuk berbuat baik, untuk mengabdi pada agama, untuk menjadi lelaki yang tangguh, untuk menjalani kehidupan dengan ikhlas dan untuk bermanfaat bagi kehidupan.
Singosari, 2 Agustus 2016

 
Oleh: Ahsani F Rahman (Putra ke 2, KH. Badawi Umar, S.Q.)

Masih teringat jelas bagaimana dimasa-masa Balita hingga bangku MI banyak sekali buku-buku dan majalah yang disediakan dirumah untuk saya baca.
Malah tidak sedikit beberapa buku saya sobek dan saya coret-coret. Saya masih ingat dulu setiap hari libur Abi (Ayah) mengajak kakak saya dan saya berjalan-jalan di Mitra (Mall di Malang era 90-an) kemudian dilanjut di pasar buku Loak Splindit untuk membeli buku atau majalah bekas.

Karena saat itu ekonomi keluarga saya tergolong rendah, mungkin dari pada beli di Gramedia mending di pasar loak saja. Begitu usaha Ayah saya untuk tetap mendidik anak-anaknya agar gemar membaca. Dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan Ayah saya tetap memeberikan pendidikan terbaik dalam konsep tangan beliau sendiri. Pendidikan semurahnya dan kualitas sebagusnya.

Padahal dahulu Ayah saya memiliki karir cemerlang di Jakarta, menolak menjadi pengajar tetap di Jakarta dengan gaji jutaan ketika itu. Namun lagi-lagi Ayah tidak memilih hidup yang serba mapan untuk sebuah tujuan, beliau lebih memilih di desa kecil Singosari, sekitar tahun 84 beliau hijrah di Singosari. Lebih memilih mengajar di TPQ tempat anak-anak kampung mengaji. Alhamrum Kakek saya adalah Mbah Mahfudz yang sebelumnya juga Guru ngaji kampung yang meninggal di Makkah. Akhirnya mau tidak mau Ayah yang meneruskan pengajian anak-anak kampung.

Terkadang saya sebagai anaknya sendiri malah kurang mendapat perhatian, karena juga mengurusi anak-anak orang lain. Saya ketika itu sering purik ketika ada anak lain yang lebih diutamakan dari pada saya sendiri. Namun pikiran itu lama-lama saya sadari bahwa memang Ayahku bukan milikku saja, tapi juga milik masyarakat, milik orang-orang yang membutuhkan, dan otomatis rasa kasih sayang seorang Ayah terbagi dengan anak yang lain. Malah ada beberapa santri yang lebih dahulu hafal juz Amma dari pada saya sendiri sebagai anaknya, padahal masih seusia saya.

Minat baca saya semakin menggila ketika saya jauh dari Orang Tua, saya di Pondokkan di Tambakberas. Terkadang membawa majalah di Pesantren merupakan hal yang kurang baik. Karena berdampak pada pemahaman pelajaran, kitab, dan sekolah.

Dan itu terbukti.
Dalam hal pendidikan Ayah memiliki metode Haliyah alias Pendidikan karakter alias contoh langsung sehari-hari. Tidak mengajak atau memerintah tapi memberi contoh. Namun sebagai manusia tentunya Ayah juga memiliki kekurangan, Ayah memiliki cita-cita agar semua anaknya berpendidikan dan berakhlaq. Dan beberapa nilai moral yang ditanam oleh Ayah kini semakin bermunculan dan berdampak pada kehidupan keluarga dan anak didiknya, Ayah memiliki sifat sederhana dan tidak menampakkan kebendaan yang dimiliki, ya memang kenyataannya tidak banyak yang dimiliki oleh Ayah. Ayah pernah berpesan "jadilah lelaki yang bermanfaat", bagi saya untaian cukup sederhana namun sangat dalam dengan makna, karena bagi saya menjalankan menjadi 'manfaat' itulah yang berat.
Bagi saya Ayah adalah segalanya, begitu Juga Ibu lebih segalanya. Sebuah keluarga kecil yang memiliki cita-cita besar, impian besar meski hanya dalam lingkup kecil. Saya tidak pernah malu menjadi bagian keluarga berprofesi guru ngaji kampung, saya bangga dan sangat bahagia.

# Selamat hari Ayah sedunia, terimakasih Ayah. Aku ingin membahagiakanmu dan meringankan beban-babanmu.


Hidayah
Oleh: Ahsani F Rahman (Putra ke 2, KH. Badawi Umar, S.Q.)

Dulu, selama dia nyantri disini tergolong santri nakal, bagaimana tidak hampir setiap malam dia kabur entah kemana, pagi selalu tidak sekolah, menghilang entah kemana. Sampai kala itu saya sudah tidak mau tau lagi ada tetangga yang ngomong “santrine nakal-nakal, arek pondok kok nakal koyo ngono”, kala itu saya tidak peduli lagi dengan nasehat tetangga yang bermacam-macam. Mengingat jumlah santri yang nakal dan yang tidak masih banyak yang santri baik-baik dan taat, mungkin yang dinilai hanya negatifnya, dan bukan positifnya. Hal itu sudah saya anggap biasa, toh yang mengerti kesehariannya juga bukan mereka, mereka hanya tahu covernya saja, belum baca isinya. Tanggapan seperti apapun dari tetangga hanya saya jawab ‘Injih, mathurnuwun’.
Saya masih ingat sangking saya gregetan dengan anak ini, pernah suatu malam saya pukul membabi buta, bagaimana tidak, dia keluar malam ikut anak punk ngamen di pertigaan bentoel karanglo ketika itu. Dengan pakaian ala punk, padahal Abahnya adalah kiai besar di Surabaya, memiliki ribuan jama’ah, majelis ta’lim, KBIH, dan lembaga sosial. Kok anaknya susah sekali aturannya, hampir setiap hari selalu saja ada pelanggaran, dan yang paling saya khawatirkan adalah bisa mempengaruhi santri yang lain. Karena Abahnya juga membawa santri yang lain untuk mondok disini menemani dia. Paginya saya minta maaf karena kesalahan semalam, lha sore sudah kambuh lagi.
Pernah saya matur pada Abi (Ayah saya) kalau sudah ndak kuat dengan kelakuan santri satu ini, dengan tenang Abi menjawab, “lha yang memberi hidayah itu bukan kita, Allah yang memberi hidayah, tugas kita hanya mendidik dan mengingatkan saja, kita dititipi santri ya bermacam-macam, harus bisa bersabar”. Ketika itu santri tersebut tidak jadi dikeluarkan, dan tetap nyantri dan tetap melanjutkan kenakalannya yang bukan main.
Sudah lama dia boyong, sudah tidak ada kabar lagi keberadaan dan kesibukan sekarang. Kata teman-temannya dia malu untuk sambang ke sini karena banyak kasus yang dulu-dulu, hanya terdengar kabar mau ngelanjutkan studi di luar negeri, dan baru dapat kabar kemarin setelah Abi ikut jamaah umroh bersama rombongan di Surabaya. Bahwa dia sekarang sudah menjadi penceramah dimajelis milik Abahnya, sudah sibuk dengan agenda pengajian, dan lain sebagainya.
Dari pelajaran ini setidaknya saya belajar bersabar, tidak sepihak memutuskan suatu yang kadang benar menurut akal, tapi tidak benar menurut hati. Tidak semua yang terlihat selalu sesuai dengan apa yang ada diluarnya. Urusan hidayah, barangkali saya jauh lebih buruk. Atau saya sudah merasa baik-baik saja, tapi nyatanya malah sebaliknya. Yang dikira baik selama ini bisa saja buruk, yang dikira buruk selama ini bisa saja baik. Wallau’alam.





Abi bahagia jika putra putrinya berkhidmah di Pendidikan dan Pesantren
Oleh: Ahsani F Rahman (Putra ke 2, KH. Badawi Umar, S.Q.)

Mas Fathul adalah anak lelaki pertama, lulusan Al Azhar Kairo Mesir dan Pesantren Tambakberas Jombang. Beberapa bulan setelah pulang dari Mesir, oleh Abi langsung disarankan agar segera mengajar di pesantren Al Ishlahiyah, Madrasah Diniyah Al Ishlah Langgar Genteng, SMK Terpadu Al Ishlahiyah, dan di Madsarah Aliyah Al Maarif Singosari. Istrinya biasa saya panggil Mbak Ami, dari keluarga Pesantren Al Bayyinah Probolinggo dan lulusan Bahasa Arab UIN Maliki Malang. Abi pernah bercerita bahwa sangat bersyukur pada Mas Fathul, karena bisa memiliki anak yang lebih pintar dari pada kedua orangtuanya.
Saya adalah anak lelaki kedua, mungkin tak banyak fokus dalam dunia pendidikan secara langsung. Saya lebih sering dalam dunia literasi, sejarah, dan organisasi. Sehingga seringkali berkeliling keberbagai daerah (jarang dirumah) dan Abi mendukung jalan perjuangan ini, asalkan suatu saat pengalaman dan ilmu yang diperoleh bisa dikembangkan untuk pesantren dan masyarakat dikemudian hari. Istri saya bernama Nafisah, Alumnus PPQ Nurul Huda dan UNISMA, Alhamdulillah saya diberi oleh Allah jodoh yang hafal Qur’an. Sekarang lebih fokus mengajar di Madrasah Diniyah dan mendidik Anak.

Wahidah adalah putri ke tiga, fokus pada hafalan Qur’an dan lebih sering menyimak setoran hafalan santri, dulu hafalan qur’an di Pondok Jeru Tumpang hingga selesai. Abi lebih senang kepada wahidah karena selain hafal qur’an juga memiliki kedekatan dengan Abi dan menggantikan posisi almarhumah Ibu. Wahidah memiliki suami bernama Nashrulloh, masih saudara dari Bungkuk dan lulusan Bahasa Arab UM yang sekarang menjadi kepala sekolah SMK Terpadu Al Ishlahiyah dan mengajar di Pesantren Bungkuk.
Muti’ah adalah anak perempuan ke 4, anak ragil yang masih nyantri di Darus Sunnah Asuhan KH. Ali Musthofa Ya’kub yang masih sepupu Abi, dan Muti’ah juga masih kuliah di UIN Jakarta. Dulu sejak kecil nyantri di Tambakberas Jombang. Muti’ lebih menguasai bidang ilmu-ilmu hadist dan baca kitab dengan banyak referensi, seringkali Muti’ mengikuti student exchange ke berbagai negara. Muti’ tergolong perempuan yang kuat dan pemberani, karena sejak kecil sudah ditinggal Ibu dan terbiasa menangani berbagai hal secara mandiri.

Kesemua putra-putri Abi adalah alumnus Pesantren Tambakberas, karena dahulu leluhur kami berasal dari Tambakberas. Kakek Buyut kami bernama Mbah Kyai Hamid Hasbulloh Said (Adik dari Mbah Wahab), yang memiliki putri bernama Mbah Hasbiyah Hamid dan kemudian hari di mantu oleh Mbah Kyai Kholil Asyari dari Pondok Bungkuk  Singosari. Kemudian berdirilah Pondok Putri Bungkuk bernama Al Ishlahiyah sekitar tahun 40-an yang didirikan Mbah Mahfudz dan Mbah Hasbiyah.
Kesemua putra-putri Abi sekarang mengajar, menjadi pendidik, dan sebagai guru. Abi pernah bercerita kalau lebih senang memiliki anak yang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan dan keagamaan. Itulah cita-cita kedua orang tua kami. Abi menganggap kesuksesan bukanlah seberapa banyak harta, jabatan, kekuasaan, dan materi. Tetapi seberapa banyak kemanfaatan dan keberkahan bisa dilakukan, itulah kebahagiaan sebenarnya. Untuk urusan rizki Abi sering bilang bahwa sudah ada yang ngatur, meskipun begitu tidak melupakan proses ikhtiar sebisanya.

Ibu memiliki adik perempuan yang biasanya kami panggil Lik Anis, setelah Ibu meninggal dunia otomatis fungsi rumah tangga dan pengasuhan diemban oleh beliau. Dedikasinya juga sangat luar biasa kepada putra-putri Abi hingga sekarang, mulai perhatian, sarapan, rumah tangga, biaya pendidikan, dan sebagai sosok orang tua. Alhamdulillah seperti apapun takdir yang digariskan oleh Allah kami masih diberikan orang-orang baik disekitar kami, sepahit apapun kenyataan Allah masih memberikan orang-orang baik disekitar kami, berbagai rintangan tidak menghantikan kami untuk terus belajar dan bangkit kembali, seberapa besar benturan alhamdulillah kami masih bisa menghadapinya meski air mata selalu kami hapus dengan harapan besar bahwa kesuksesan itu adalah kebahagiaan dan membahagiakan. Alhamdulillah kami lahir dari keluarga yang penuh cinta, sehingga cinta itu bisa melupakan derita, duka, dan berbagai cobaan yang mendera. Kami sangat bersyukur malah dari keterbatasanlah justru menjadikan kami semakin kuat dan rukun. Percayalah bahwa takdir Allah selalu indah jika kita syukuri, tetap dijalani, tidak meratapi keadaan, dan selalu bangkit setelah terjatuh.

11 September 2019 Abi wafat dan meninggalkan kami selama-lamanya. Kami masih sangat hijau untuk menghadapi perjuangan di dunia. Abi tidak meninggalkan warisan selain kenangan indah sebagai sosok Ayah yang sabar, konsisten, setia, istiqomah, sederhana, semangat, dan apa adanya. 5 hari sebelum Abi meninggal sempat berpesan bahwa ‘ingin nyusul Ibu, sudah kangen Ibu’, kami ketika itu tidak berfikir macam-macam selain memberi motifasi agar Abi segera sembuh dan beraktifitas seperti biasanya. Hari sabtu bilang kalau ingin ke Bungkuk nemuin Ibu sekaligus jamaah duhur disana. Kami tidak pernah menduga bahwa hari itu adalah saat beliau terakhir menjadi imam sholat duhur di Masjid At Thohiriyah Bungkuk. Kemudian hari kami baru sadar, ternyata sebelum kepergian Abi beberapa hal sudah dipersiapkan oleh Abi sebelum Abi meninggal dunia. Salah satu pesan Abi adalah ‘seminggu sekali jangan lupa ziarah kubur dan mendoakan ahli kubur’ pesan ini sebulan sebelum Abi meninggal dunia dan saat itu Abi bersama santri putra ro’an di halaman dekat play group Al Ishlah, Abi sambil menggendong Ais dan memantau ro’an santri di sore hari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BANNER KH BADAWI UMAR

Banner ini memiliki ukuran 300 cm x 300 cm. Bahan banner biasa, yang sebelumnya ditempelkan untuk acara peringatan 40 hari beliau. yang ukuran sebelumnya 300 x 400 cm. kemudian di potong dan ditempel ulang dengan kayu 4x6 dan triplek untuk memperindah dekorasi ruangan di Aula PP Al Ishlah Langgar Genteng.

Cak Nan dan sebuah jalan panjang

Disebelah saya ini adalah Cak Nan, nama lengkapnya Khoirul Ahsanan. Sudah lebih dari 20 tahun saya mengenal sosok yang memiliki keseharian unik dan nyeleneh. meski di usia kepala empat ini beliau juga belum menikah juga dengan banyak hal yang menjadi kendala dan alasannya. tetapi diluar itu, Cak Nan adalah sosok yang mengagumkan bagi saya. Kesehariannya kalau tidak ngajar, nyampah, memulung, silaturrahmi, menolong orang, dan kluyuran. setidaknya beliau ingin bisa bermanfaat dalam hidupnya. ya itu saja.

TPQ AL ISHLAH TUMAPEL SINGOSARI

Pengasuh: Ust. Khoirul Ahsanan Penasehat: Ust. Ahsani F Rahman Pembina: Ust. M. Kholilulloh Sekretaris: Ust. Suhendri Hidayatulloh